Retorika Pejabat, Luka Hati Rakyat
Di negeri ini, kata-kata pemimpin
dan pejabat publik seharusnya menjadi pedoman, menenteramkan rakyat, sekaligus
memberi arah di tengah ketidakpastian. Tapi di negeri ini, ucapan pejabat
publik justru sering jadi bumerang: bukan menenangkan, melainkan menyulut luka.
Dari podium kekuasaan, kalimat-kalimat yang keluar terdengar pongah, sembrono,
bahkan menistakan akal sehat.
Ambil contoh pernyataan Menteri
Kesehatan yang menyebut bahwa orang dengan gaji Rp15 juta lebih sehat dan lebih
pandai dibanding mereka yang bergaji Rp5 juta. Pernyataan ini tidak hanya
merendahkan martabat jutaan pekerja dengan upah minimum, tetapi juga
menunjukkan logika sempit: seolah kecerdasan dan kesehatan hanya diukur dari
tebalnya dompet. Lalu, bagaimana dengan mereka yang hidup dengan UMR di bawah
Rp5 juta? Apakah secara otomatis mereka dianggap bodoh dan sakit-sakitan? Ironi
ini membalik wajah asli sistem kesehatan kita: alih-alih berjuang menyehatkan
rakyat miskin, yang ditonjolkan justru glorifikasi privilese.
Tak kalah absurd adalah
pernyataan Wamendikbudristek, Stella Cristie, yang mengatakan bahwa program
Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa membuat anak pintar matematika dan bahasa
Inggris. Klaim ini terdengar manis di telinga, tapi justru mengundang tanya:
bagaimana korelasi antara program bantuan makanan dengan kemampuan kognitif
spesifik seperti berhitung dan berbahasa asing? Benar bahwa gizi memengaruhi
perkembangan otak, tapi menyederhanakan persoalan pendidikan hanya sebatas
“makan gratis = pintar matematika dan bahasa Inggris” adalah logika yang
terlalu linier. Alih-alih menguatkan argumen dengan riset mendalam, pernyataan
itu jatuh sebagai slogan kosong—sekadar retorika politik yang gagal menjawab
persoalan riil dunia pendidikan: kualitas guru, kesejahteraan guru honorer dan
swasta, kurikulum yang terlalu sering bongkar pasang, maupun ketimpangan akses
belajar.
Lalu ada Nusron Wahid, dengan
kalimat yang viral: “Tanah nganggur dikuasai negara, memang mbahmu bisa
bikin tanah?”. Alih-alih membuka ruang diskusi yang sehat mengenai reforma
agraria, pernyataan ini justru menyingkap mentalitas kekuasaan yang menganggap
tanah sebagai objek mutlak milik negara, tanpa sensitivitas terhadap petani
kecil yang selama ini berjuang mempertahankan hak garapnya. Kata-kata itu
merendahkan, memutus jarak antara pejabat dan rakyat, serta menegaskan watak
feodal yang masih bercokol dalam politik agraria kita. Nyalinya sebatas ngatur
tanah rakyat kecil. Tapi kalau sawit jutaan hektar? Kalau laut dipagari dan
diurug ? Kok tiba-tiba jadi bisu?
Sri Mulyani, yang katanya menteri
keuangan terbaik dunia, pernah menyebut bahwa guru adalah beban negara. Kalimat
ini bukan hanya keliru secara substansi, tetapi juga berbahaya secara moral.
Bagaimana mungkin profesi yang menjadi pilar peradaban—yang membentuk
manusia-manusia berpengetahuan—dicap sebagai beban? Pernyataan itu
memperlihatkan betapa orientasi fiskal telah mengalahkan visi pendidikan, dan
guru ditempatkan sekadar angka dalam laporan keuangan, bukan agen perubahan
bangsa.
Pernyataan arogan juga lahir dari
Ahmad Syahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR (yang sekarang sudah dicopot),
menyebut bahwa orang yang demo menuntut pembubaran DPR adalah “orang paling
tolol sedunia.” Kritik rakyat dibalas dengan hinaan, seolah DPR adalah lembaga
suci tanpa cela. Padahal, DPR ada karena rakyat memilih. Kalau rakyat yang
memilih itu “tolol”, maka kualitas hasil pilihannya seperti apa? Tuntutan
rakyat lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap kinerja DPR sendiri. Ketika
suara rakyat dianggap tolol, maka demokrasi hanya tinggal papan nama, tanpa
ruh.
Ironi serupa hadir di tingkat
lokal. Sudewo, Bupati Pati, menanggapi penolakan rakyat atas rencana kenaikan
PBB-P2 sebesar 250% dengan pernyataan: “Silakan demo, jangankan lima ribu,
lima puluh ribu pun saya tidak gentar.” Kata-kata ini bukan cermin
kepemimpinan, melainkan arogansi kuasa. Pemimpin seharusnya mendengar, bukan
menantang rakyat. Pernyataan seperti ini hanya mempertegas jurang antara
penguasa dan rakyatnya.
Dan tentu, siapa yang bisa
melupakan pejabat segala urusan Luhut Binsar Pandjaitan dengan kalimatnya yang
sering tajam namun penuh amarah? Salah satunya: “Kalau hanya kritik-kritik,
silakan angkat kaki dari Indonesia.” Kalimat yang mestinya tidak keluar
dari seorang pejabat publik di negara demokrasi. Kritik adalah bagian dari hak
warga negara, bukan alasan untuk diusir dari tanah kelahirannya. Pernyataan
seperti itu justru memperlihatkan mentalitas otoriter yang anti kritik.
Ironi terbesar dari semua ini
bukan sekadar pada ucapan-ucapan yang tidak pantas, tetapi pada pesan
tersembunyi di baliknya: para pejabat sering lupa bahwa kata-kata mereka bukan
hanya kalimat biasa. Ia adalah cermin watak, kualitas kepemimpinan, dan arah
kebijakan. Saat kata-kata berubah menjadi ejekan, hinaan, atau slogan kosong,
maka yang retak bukan hanya wibawa pejabat itu sendiri, melainkan juga
kepercayaan rakyat terhadap negara.
Seorang pemimpin besar seharusnya
mampu meredam keresahan rakyat dengan kalimat yang menenteramkan, bukan
mengobarkannya dengan kata-kata yang kasar. Namun di negeri ini, kita terlalu
sering disuguhi ironi: pemimpin yang lebih pandai bicara daripada mendengar,
lebih suka membentak daripada mengayomi. Dan barangkali, di situlah tragedi
kita sebagai bangsa: bukan karena rakyat terlalu banyak mengeluh, melainkan
karena pejabat terlalu sering berceloteh tanpa berpikir.
ALI ACHMADI, Praktisi Pendidikan, Pemerhati
Masalah Sosial, Tinggal di Pati
