Menilik Manuskrip Al-Qur’an di Museum Masjid Agung Demak

Menilik Manuskrip Al-Qur’an di Museum Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak merupakan salah satu simbol kejayaan Islam di Tanah Jawa yang didirikan pada abad ke-15 oleh Walisongo dan Raden Fatah. Sepanjang sejarahnya, masjid ini telah mengalami berbagai perubahan nama, mulai dari Pesantren Glagah Wangi, Masjid Pesantren Glagah Wangi, Masjid Kadipaten Glagah Wangi, Masjid Kesultanan Demak Bintoro, hingga menjadi Masjid Agung Demak sebagaimana ditetapkan melalui UU No. 05 Tahun 1992 dan PP No. 10 Tahun 1993.

Selain menjadi pusat kegiatan keagamaan, Masjid Agung Demak juga menyimpan warisan sejarah yang tak ternilai dalam bentuk manuskrip Al-Qur’an kuno, salah satunya adalah Mushaf 9. Manuskrip ini menyimpan banyak informasi berharga dan menjadi bagian penting dalam upaya pelestarian warisan budaya Islam di Nusantara. Menurut penuturan Husni Mubarok, penjaga Museum Masjid Agung Demak, beberapa manuskrip ditemukan di lantai dua masjid, termasuk Mushaf 9, yang diduga ditulis oleh seorang santri Pesantren Glagah Wangi. Namun, pendapat tersebut belum didukung oleh bukti yang kuat. Sumber lain menyebutkan bahwa manuskrip ini ditemukan di bawah atap masjid saat proses pemugaran.

Mushaf 9 dengan kode nomor DK-MAD/MMAD.9/AQ/2023, merupakan salah satu koleksi penting di Museum Masjid Agung Demak. Walaupun nama penulis dan tahun penulisan tidak diketahui, mushaf ini tetap menyimpan daya tarik tersendiri. Sampulnya berbahan kulit berwarna cokelat tua dan disimpan aman dalam lemari kaca museum. Proses perawatannya relatif sederhana, yaitu hanya disimpan dalam lemari dan diberi tembakau sebagai pengawet alami. Meskipun kondisi fisiknya cukup baik, penjilidannya tidak lagi utuh. Teks surat Al-Baqarah dalam mushaf ini diawali dengan lafaz "abwaabihaa wattaqullaha la’allakum tuflihuun.." dan bagian akhir naskah hanya sampai pada surat Al-Lahab.







Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa dengan ketebalan naskah (beserta sampul) sekitar 8 cm dan tanpa sampul 7 cm. Jumlah halamannya mencapai 680 halaman, dengan dimensi umum 33 x 20,5 cm dan ukuran khusus 22,5 x 12 cm. Setiap halaman memuat 15 baris tulisan. Tidak ditemukan tipe kuras, jumlah kuras, ataupun jumlah bifolium, serta tidak ada kolofon dan halaman kosong. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Terdapat catchword atau kata alihan, tetapi tidak ditemukan foliasi, margin, maupun parateks dalam bentuk catatan tambahan.



Warna tinta dalam naskah ini sangat beragam. Teks utama ditulis dengan tinta hitam, sedangkan warna merah digunakan untuk menandai kepala surat, permulaan juz, dan penanda akhir ayat. Selain itu, warna hijau, biru, kuning, dan emas mempercantik iluminasi yang terdapat pada awal surat. Kertas yang digunakan memiliki watermark dan countermark.

Sebuah catatan penting mengenai kepemilikan (exlibris) ditemukan di bagian depan mushaf. Catatan tersebut ditulis dalam huruf Jawa dan berbunyi: "punika Qur’an kagunganipun Raden Ayu Dirja tahun Welandi 1783. Kaparingke Rahaden Welandi," yang berarti "Qur’an ini milik Raden Ayu Dirja tahun Belanda (Masehi) 1783. Diberikan oleh Rahaden Welandi."

Keunikan Mushaf 9 tidak hanya tampak dari sisi kodikologi, tetapi juga dari sisi tekstologinya. Penulisan mushaf ini mencerminkan budaya penulisan abad ke-18 M, terlihat dari lafaz 'عوجاً' yang tidak disertai tanda saktah, serta penomoran ayat yang hanya menggunakan tanda titik atau bulatan kecil. Gaya khat yang digunakan adalah khat Naskhi dan sistem rasm-nya adalah rasm Imla’i, seperti pada lafaz 'الصالحات' yang masih ditulis dengan ejaan biasa. Qira’at yang digunakan dalam mushaf ini adalah Qira’at Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh, yang dapat diketahui melalui lafaz 'من لدنه' yang ditulis sesuai dengan cara pembacaan Imam Hafsh, berbeda dengan riwayat Imam Syu’bah.



Museum Masjid Agung Demak yang terletak tepat di utara masjid, menghadap Alun-Alun Kota Demak, menjadi tempat yang ramai dikunjungi peziarah maupun peneliti. Museum ini tidak hanya menyimpan mushaf Al-Qur’an kuno, tetapi juga benda-benda bersejarah seperti sokoguru peninggalan Walisongo, bedug karya Sunan Kalijaga, sirap atap kayu jati, serta guci dari putri Campa. Mushaf-mushaf kuno yang jumlahnya 14 buah disimpan rapi dalam lemari kaca tertutup agar tetap terjaga dari kerusakan.

Museum ini juga menjadi lokasi yang strategis dalam kegiatan keagamaan, seperti istighotsah yang diselenggarakan oleh PWNU Jawa Tengah dalam menyongsong satu abad NU. Selain beribadah, jamaah dapat menyaksikan peninggalan para wali secara langsung. Salah satu koleksi paling menarik adalah mushaf Al-Qur’an tulisan tangan berbahasa Jawa menggunakan huruf Arab Pegon yang berjumlah 18 eksemplar, termasuk tulisan tangan Sunan Bonang yang dibuat pada tahun 1000 H dan disimpan dalam meja berkaca tembus pandang.

Kajian terhadap manuskrip seperti Mushaf 9 menjadi penting karena setiap naskah memuat kekhasan yang dapat ditelusuri melalui pendekatan kodikologi dan tekstologi. Kodikologi membahas fisik naskah dan latar belakang penulisannya, sedangkan tekstologi menelusuri kandungan isi dan ragam bacaannya. Kedua pendekatan ini saling melengkapi dalam menggali nilai sejarah, budaya, dan keislaman yang terkandung di dalamnya. Mushaf 9 dari Museum Masjid Agung Demak merupakan salah satu contoh nyata bagaimana warisan intelektual Islam dapat terus dipelajari dan dilestarikan.

 

Disusun oleh mahasiswa UIN SUNAN KUDUS prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir :

1.     Ja’far Najihandaris

2.     Muhammad Umar Said

3.     Andik Naufal Ali Wijaya

4.     Ahmad Shofil Fu’ad


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama