Saat Suara Rakyat Dibalas Tantangan

 


 

Pernyataan Bupati Pati, Sudewo, dalam menanggapi rencana aksi demo menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250% pada 13 Agustus 2025 bukan hanya mencederai perasaan masyarakat, namun juga memperlihatkan wajah kekuasaan yang kehilangan empati. Ketika rakyat mengadukan beban hidup yang kian berat, pemimpinnya justru menyambut dengan kalimat bernada tantangan: “Silakan demo. Jangankan lima ribu atau lima puluh ribu orang, saya tidak akan gentar.”

Ini bukan ekspresi ketegasan seorang pejabat publik. Ini adalah cermin dari arogansi dan kegagalan mendasar dalam memahami esensi kepemimpinan dalam negara demokrasi. Seorang pemimpin yang baik seharusnya mendengar, bukan melawan. Merangkul, bukan menghardik. Kalimat “Saya tidak akan tunduk pada tekanan massa” mungkin terdengar heroik bagi sebagian, tapi pada dasarnya justru menginjak-injak prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi fondasi pemerintahan itu sendiri.

Pajak: Antara Kewajiban dan Keadilan

Tidak ada rakyat yang menolak membayar pajak. Namun, rakyat berhak menuntut keadilan, transparansi dan kewajaran dalam penetapannya. Kenaikan PBB hingga 250% bukan hal sepele, apalagi di tengah kondisi ekonomi daerah dan nasional yang tidak sepenuhnya stabil akibat dari kondisi politik dan ekonomi global. Jika kebijakan ini dibuat tanpa kajian sosial yang komprehensif dan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, maka yang terjadi adalah pemaksaan kehendak dari atas—yang menjadikan rakyat hanya sebagai objek kebijakan, bukan subjek pembangunan.

Respons warga yang menyampaikan kekecewaannya di berbaga media sosial adalah ekspresi luka batin yang jujur: “Pie to pak, aku gelo milih sampean. Sampean ora mbantu rakyatmu malah nantang koyok ngono. Allah mboten sare, Pak.” Kalimat ini tidak sekadar kekecewaan personal, tapi perwakilan dari rasa dikhianati oleh pemimpin yang semestinya melindungi, bukan melawan.

Kepemimpinan Bukan Tentang Kekuatan, Tapi Keteladanan

Sikap “tidak gentar” terhadap masyarakat yang demo tidak bisa diartikan sebagai keberanian seorang pemimpin menghadapai rakyatnya, tapi merupakan bentuk ketidakpedulian. Apalagi jika disertai instruksi kepada jajaran pemerintah agar “tidak menjalin bargain apapun dengan pendemo.” Ini menandakan ditutupnya ruang dialog antara rakyat dan pemerintah, dan justru menjadi ciri khas rezim otoriter, bukan demokratis.

Pemimpin seharusnya menjadikan suara rakyat sebagai kompas, bukan sebagai musuh. Mereka yang turun ke jalan bukan sekadar “massa,” tapi manusia dengan beban ekonomi, harapan akan keadilan, dan rasa ingin didengar. Tantangan terhadap aspirasi rakyat hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.

 

 

 

 

 

 

Harapan untuk Pati dan Indonesia

Pati, sebagai bagian dari Indonesia yang demokratis, semestinya menjadi teladan dalam merawat dialog antara pemerintah dan rakyat. Kenaikan PBB bisa dibahas, dikaji ulang, bahkan dinegosiasikan melalui forum terbuka. Tapi ketika pemerintah bersikap tertutup dan menantang rakyat, maka yang terjadi bukan lagi kebijakan publik, melainkan pemaksaan kekuasaan.

Semoga pemerintah daerah, terutama Bupati Pati, dapat segera menyadari bahwa kekuasaan bukan hak istimewa untuk menantang, tetapi amanah untuk melayani. Dan semoga rakyat tetap bersatu, menjaga marwah demokrasi tanpa harus kehilangan akal sehat di tengah provokasi penguasa.

 

ALI ACHMADI, Pemerhati masalah sosial, tinggal di Pati.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama