Tanah
Nganggur Disita, Rekening Nganggur Diblokir,
Lulus
Sekolah Nganggur Didiamkan : Lucunya Negeriku.
Di depan saya, seorang anak muda
yang sepertinya dulu pernah jadi muridku duduk memeluk tas ranselnya. Isinya,
katanya, bukan laptop. Tapi map plastik berisi ijazah, fotokopi KTP, surat
lamaran kerja. Ia lulusan perguruan tinggi swasta di kota kecil. Bukan kampus
unggulan. Tapi ia lulus dengan IPK baik. Bahkan terlalu baik, sampai beberapa
HRD mencurigainya: “Ini IPK beneran atau...?”
Sudah dua tahun ia menganggur.
Pernah bekerja serabutan, katanya, tapi tidak pernah cukup lama. Kadang karena
tempatnya tutup. Kadang karena gajinya terlalu kecil. Seringnya karena "overqualified".
"Negara tahu saya nganggur,
Pak?" tanyanya.
Saya hanya bisa tersenyum. Saya
tahu maksudnya bukan meminta jawaban.
Beberapa hari lalu saya membaca
kabar: rekening yang nganggur tidak aktif tiga bulan bisa diblokir otomatis.
Alasannya: tidak produktif dan untuk efisiensi sistem perbankan.
Saya juga membaca: tanah yang nganggur
dibiarkan kosong lebih dari dua tahun bisa disita negara. Alasannya: tidak
produktif dan untuk optimalisasi aset.
Saya mengangguk. Negara tidak suka
sesuatu yang nganggur dan diam terlalu lama. Tanah harus diolah. Rekening harus
bergerak.
Saya ingin bertanya: bagaimana
dengan manusia?
Apakah negara juga tidak suka
manusia yang terlalu lama nganggur dan tidak produktif ? Kalau iya, bentuk
"teguran"-nya seperti apa?
Ataukah justru manusia yang diam
tidak dihitung sebagai apa-apa?
Saya jadi berpikir: tanah kosong
dianggap aset tidur. Maka harus dibangunkan. Tapi manusia yang nganggur, malah
dianggap tidak ada. Tidak tercatat. Tidak dicatat. Tidak penting.
Padahal, biaya sekolahnya—SD, SMP,
SMA, kuliah—sebagian dibiayai negara. Bahkan kalau ia sekolah di sekolah negeri,
hampir semua dari APBN.
Apa negara tidak ingin menagih
hasil dari investasi itu?
Atau jangan-jangan, negara hanya
serius menagih bila investasinya berupa tanah, bukan pendidikan?
Tanah bisa dilihat. Bisa diukur.
Bisa ditaksir nilainya.
Tapi manusia?
Terlalu rumit. Terlalu banyak
variabel. Terlalu banyak alasan untuk diabaikan.
Saya tidak sedang menyalahkan
pemerintah. Saya hanya ingin mengajak berpikir.
Kalau tanah nganggur bisa disita
negara, dan rekening nganggur bisa diblokir bank, maka wajar bila rakyat yang
lama menganggur bertanya: "Saya ini aset negara atau bukan?"
Kalau bukan, kenapa dulu disuruh
sekolah?
Kalau iya, kenapa setelah lulus
justru dibiarkan terlantar?
Saya tahu jawabannya tidak
sederhana. Tapi saya tahu, pertanyaannya juga tidak bisa terus-menerus dianggap
bercanda.
Jika tanah nganggur bisa dianggap
“potensi yang disia-siakan”,
maka manusia nganggur seharusnya dianggap lebih dari itu.
Tanah tidak bisa berpikir. Tidak
bisa belajar. Tidak bisa bekerja.
Manusia bisa.
Tapi hanya jika diberi kesempatan.
Dan selama kesempatan itu tidak
datang,
mereka hanya akan duduk memeluk map ijazah—di halte, di rumah, di ruang tunggu.
Menunggu negara yang tak pernah benar-benar datang.
ALI ACHMADI, Praktisi
Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Pati