Sentil Gus Ulil, Gus Nadir: Tambang Tak Bisa Dianggap Baik Jika Mencemari Lingkungan
JAKARTA, PATINEWS.COM – Pernyataan Ketua PBNU, Kiai Ulil Abshar Abdalla, bahwa penambangan merupakan hal yang baik selama tidak tergolong bad mining, menuai respons tajam dari cendekiawan Muslim Dr. Nadirsyah Hosen. Melalui sebuah catatan reflektif di akun Twitter pribadinya, Nadir—sapaan akrabnya—mengkritisi bahwa pandangan tersebut terlalu menyederhanakan persoalan kompleks di balik industri pertambangan.
Menurut Nadir, dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan utama syariat), memang benar bahwa aktivitas yang membawa kemaslahatan publik bisa dibenarkan. Namun, penambangan tidak bisa direduksi semata sebagai soal teknis antara “baik” dan “buruk”. Ia menekankan bahwa praktik pertambangan seringkali menyisakan persoalan struktural seperti kerusakan ekologis, ketimpangan sosial, dan pelanggaran hak masyarakat lokal.
> “Selama hal-hal ini tidak diperbaiki, yang kita saksikan adalah bad mining. Dan selama ini dibiarkan, maka tak elok menormalisasi pertambangan dengan klaim normatif-abstrak,” tegasnya.
1. Maslahat Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Mengutip Imam al-Ghazālī dalam karya al-Mustaṣfā, Nadir menegaskan bahwa maslahat (maṣlaḥah mu‘tabarah) adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash atau ijma‘. Maka, jika penambangan justru mencemari lingkungan, menggusur masyarakat adat, dan menghancurkan ruang hidup, maka itu bukanlah maslahat, melainkan mafsadah (kerusakan).
> “Tak semua yang menghasilkan uang dan devisa bisa otomatis disebut maslahat,” tulisnya.
2. Keadilan Ekologis Adalah Syariat
Dalam pandangan Nadir, kerusakan lingkungan akibat tambang bukanlah isu teknis, melainkan pelanggaran etis dan teologis. Ia mengutip QS al-Aʿrāf ayat 56 sebagai pengingat untuk tidak membuat kerusakan setelah perbaikan dilakukan.
> “Kehancuran ekologis akibat tambang adalah fasād al-bī’ah—kerusakan lingkungan sistemik. Ini bentuk khiyānah terhadap amanah kekhalifahan manusia di bumi,” tulisnya.
3. Maslahat Tak Sah Jika Dicapai Lewat Kezaliman
Nadir menyayangkan dikotomi antara good mining dan bad mining, yang menurutnya gagal menangkap kenyataan bahwa mayoritas praktik tambang di Indonesia dipenuhi pelanggaran hukum, sosial, dan etika.
Mengutip al-ʿIzz ibn ʿAbd al-Salām, ia menegaskan bahwa segala bentuk aktivitas yang mengarah pada kezaliman adalah haram, dan hanya yang menuju keadilan dan kebaikan yang dibenarkan oleh syariat.
> “Maslahat yang menindas rakyat dan lingkungan adalah tipu daya moral, dan itu harus dilawan—setidaknya dengan suara moral para ulama,” tegas Nadir.
4. Maslahat untuk Siapa?
Pertanyaan terakhir yang dilontarkan Nadir sangat mendasar: siapa yang menikmati maslahat dari pertambangan? Jika hanya elite politik dan pemilik modal, sementara masyarakat lokal kehilangan sumber kehidupan mereka, maka itu bukan maslahat—melainkan bentuk baru dari penjajahan domestik.
> “Maslahat harus adil, berkelanjutan, dan inklusif,” pungkasnya.
Penutup
Nadirsyah Hosen mengingatkan bahwa klaim normatif semacam “penambangan itu baik asal bukan bad mining” berpotensi menjadi pembenaran moral atas praktik eksploitatif jika tidak disertai kritik mendalam terhadap dampak riilnya di lapangan.
> “Kemaslahatan bukan cuma soal manfaat finansial, melainkan harus diuji melalui prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kemanusiaan,” tulisnya dalam penutup.
Catatan ini menjadi pengingat penting bahwa dalam konteks pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam, suara para ulama tetap harus berpihak pada keadilan ekologis dan kemanusiaan yang utuh.
— Sumber: twitter.com/na_dirs