Pati dan Luka Demokrasi Indonesia
Rabu, 13 Agustus 2025, Kabupaten Pati mencatatkan salah satu babak kelam dalam sejarah demokrasi Indonesia. Hari itu, ribuan warga dari berbagai elemen turun ke jalan, membawa satu misi: mengoreksi jalannya kekuasaan daerah yang dinilai telah menyimpang dari semangat rakyat, sekaligus mengirim pesan ke seluruh negeri bahwa kesewenang-wenangan tidak boleh dibiarkan.
Awal Aksi: Damai, Teratur, dan Penuh Harapan
Sejak pagi, massa berkumpul di depan Kantor Bupati Pati. Orasi silih berganti, disampaikan oleh tokoh-tokoh lokal: Mas Bothok, Cak Ulil, Cak Ipul, advokat Cak Soleh, dll hingga ketua paguyuban PKL. Tuntutan mereka jelas—Bupati Sudewo harus turun, atau minimal menandatangani pernyataan pelengseran.
Massa memberikan tenggat hingga pukul 11.00 WIB. Harapannya, pintu dialog dibuka, aspirasi rakyat didengar. Namun, yang datang justru keheningan. Tidak ada sambutan, tidak ada negosiasi. Rakyat dibiarkan menunggu di bawah terik matahari tanpa jawaban.
Skenario Benturan yang Memecah Aksi Damai
Titik panas mulai muncul. Sejumlah peristiwa yang terkesan terencana mengubah wajah aksi damai menjadi kericuhan:
1. Provokasi awal – Beberapa oknum memulai lemparan gelas/ botol air mineral dan mendobrak pagar pengaman kantor bupati.
2. Aksi destruktif – Orang-orang yg seperti preman, diduga bukan bagian dari massa resmi, merusak CCTV dan membakar fasilitas.
3. Gangguan audio – Sound system besar memutar musik berdentum keras, menenggelamkan suara orator dan memecah konsentrasi massa.
Gas Air Mata dan Water Cannon: Pemicu Perlawanan Anarkis
Ketika massa masih dalam posisi menuntut dengan orasi, aparat merespons dengan cara yang mengejutkan. Lemparan gelas atau botol air mineral dibalas dengan water cannon. Teriakan “Lengser!” dibalas dengan tembakan gas air mata yang membungkus udara dengan asap pedih, membuat mata perih, dada sesak, dan langkah goyah.
Dari sinilah, benturan benar-benar meledak.
Dalam situasi panik dan marah, terjadi perusakan terhadap mobil provos dan beberapa sepeda motor polisi. Tindakan anarkis ini lahir bukan dari awal aksi, tetapi sebagai reaksi atas tembakan gas air mata dan water cannon yang dilepaskan membabi buta. Perlawanan itu timpang—rakyat hanya bersenjatakan keberanian dan suara, sementara aparat bersenjata peralatan anti huru-hara.
Gas Air Mata di Rumah Allah
Puncak luka terjadi ketika gas air mata bahkan menghantam masjid yang dijadikan tempat berlindung. Kepulan gas memenuhi ruang ibadah. Ibu-ibu berlarian, anak-anak menangis, sebagian jatuh pingsan karena sesak napas. Peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam: masjid—tempat perlindungan dan kedamaian—ternodai oleh asap represi.
DPRD Bergerak, Rakyat Harus Mengawal
Pasca-aksi, DPRD Kabupaten Pati mengumumkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket. Secara formal, ini adalah mekanisme untuk menyelidiki kebijakan pemerintah daerah, termasuk kebijakan kenaikan pajak yang menjadi pemicu utama aksi.
Namun, pengalaman menunjukkan, tanpa pengawalan rakyat, Pansus bisa berubah menjadi sekadar formalitas politik.
Sikap Bupati: Bahasa Arogansi di Tengah Gejolak
Dalam sebuah video pernyataannya, Bupati Sudewo tetap berbicara dengan nada yang dinilai banyak orang sebagai angkuh. Ia menegaskan bahwa dirinya adalah pilihan rakyat secara konstitusional, seolah status terpilih menjadi lisensi untuk mengabaikan protes dan kritik. Padahal, demokrasi sejati bukan hanya tentang kemenangan di kotak suara, tetapi juga kesediaan untuk mendengar rakyat di jalanan.
Pelajaran dari Pati
Aksi 13 Agustus 2025 bukan hanya tentang Pati. Ia adalah cermin nasional, memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa berubah menjadi alat penindasan jika tak diawasi. Dari sini, kita belajar:
• Demokrasi mati jika rakyat diam.
• Keadilan hanya lahir jika rakyat bersatu dan berani.
• Kekuasaan tanpa kontrol akan melahirkan arogansi.
Pati telah berbicara.
Kini, tugas seluruh rakyat Indonesia untuk mendengar dan menjaga agar suara itu tidak dibungkam.
Oleh: Muhamad Alaa Uddin, M.Pd, peserta aksi demo dan seorang pendidik